Rabu, 01 Juni 2016

Kedudukan Mahar Dalam Perkawinan


Para ulama sepakat bahwa mahar bukanlah rukun ataupun syarat dari akad nikah. Tanpa penyebutan mahar dalam majlis maka akad nikah tetap sah dan berimplikasi hukum.
Mahar adalah hak istri. Jadi, si istri berhak menentukan mahar apa yang harus diberikan calon suaminya bila ingin memperistrinya. Ketika sudah diberikan maka mahar tersebut menjadi hak prerograif sang istri dan tak siapapun yang boleh mencampurinya.
Bentuk mahar adalah harta atau jasa. Yang dinamakan harta adalah barang berguna yang memiliki nilai harga pada diri si penerima. Sedangkan jasa adalah manfaat abstrak yang berguna bagi kehidupan penerima (dalam hal ini adalah istri) baik di dunia maupun di akhirat.
Mahar dalam bentuk jasa misalnya seorang istri atau walinya mensyaratkan suami bekerja padanya tanpa diupah. Ini seperti yang dilakukan oleh Nabi Syu’aib AS kepada Nabi Musa AS ketika menikahi putrinya. Contoh lain yang lebih kontemporer adalah si istri mensyaratkan suami untuk membiayai kuliahnya sampai selesai. Itu juga adalah bentuk mahar yang wajib diberikan suami sampai tuntas.
Contoh lain, si istri meminta suaminya untuk mengajarkan ilmu tertentu kepadanya sampai dia bisa sebagai mahar perkawinan mereka. Maka wajiblah suami mengajarkan ilmu tersebut kepada istrinya sampai sang istri bisa. Hal ini senada dengan hadits dari Sahl bin Sa’d tentang kisah seorang wanita yang minta dinikahi oleh Nabi SAW tapi beliau tidak bersedia. Lalu datanglah seorang pria minta dinikahkan dan Rasulullah SAW menyuruhnya membayar mahar meski hanya cincin besi. Ternyata pria ini tidak punya apa-apa, sampai akhirnya Nabi SAW memerintahkannya mengajarkan beberapa surah Al-Qur`an yang kebetulan dia hafal kepada istrinya itu sebagai mahar. (Lihat haditsnya dalam Shahih Al-Bukhari, no. 5149, dan Shahih Muslim, no. 1425).
Jumlah maksimal dan minimal
Menurut pendapat yang lebih kuat, tidak ada batas atas dan batas bawah bagi mahar. Asalkan kedua pihak (suami dan istri serta walinya) sudah menyepakati jumlah, maka itulah yang harus dibayarkan sebagai mahar.
Hanya saja, memang ada anjuran untuk mempermudah mahar. Artinya, mahar yang mudah dijangkau oleh mempelai pria itulah yang dianjurkan sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya pernikahan yang paling besar pahalanya adalah yang paling ringan biayanya.” (HR. Ahmad, no. 23388 dari Aisyah ra). Hadits ini dha’if karena ada rawi bernama Ibnu Sakhbarah, tapi maknanya dikuatkan oleh hadits lain yang juga dari Aisyah yaitu, ”Sesungguhnya wanita yang baik itu adalah yang ringan maharnya, mudah menikahinya, dan baik budi pekertinya.” (HR. Ahmad, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan Ibnu Hibban dalam shahihnya). Al-Albani menganggap hadits ini hasan dalam Shahih Al-Jami’, no. 2235.
Bolehkah berutang mahar?
Boleh saja seseorang berutang mahar baik disebutkan dalam akad nikah ataupun tidak. Bila disebutkan maka teksnya akan seperti prolog di atas, meski hal itu akan ditertawakan banyak orang. Tapi andai itu terjadi maka tak berpengaruh kepada keabsahan akad.
Bahkan, mahar tak mesti disebutkan dalam akad, sehingga akad nikah boleh saja berbunyi seperti ini, ”Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan.” Selesai sampai di situ dan akadpun sah lalu mereka resmi menjadi suami-istri. Akan tetapi mahar tetap wajib dibayarkan bila sudah disepakati oleh kedua pihak jumlahnya sebelum akad, biasanya pada saat lamaran.
Bagaimana bila maharnya belum disepakati dan tidak pula disebutkan dalam akad?
Bila demikian kejadiannya maka pihak wanita berhak mendapatkan mahar mitsl. Mahar mitsl artinya mahar yang sepadan untuk ukuran wanita seperti si istri bersangkutan. Biasanya memperhatikan adat yang berlaku setempat, atau memperhatikan berapa mahar yang sudah dibayarkan untuk kakak atau adiknya yang sudah menikah duluan. Misalnya, untuk ukuran wanita secantik dia maka biasanya mahar orang-orang sekitar adalah sekian, maka sejumlah itulah yang wajib dibayarkan oleh suaminya.
Tata cara pembayaran mahar:
Mahar menjadi wajib dibayar ketika sudah terjadi persetubuhan suami istri. Maka si suami wajib membayar mahar yang telah disepakati atau disebutkan dalam akad seratus persen. Kalau belum terjadi kesepakatan maka wajib membayar mahar mitsl.
Mahar yang wajib dibayarkan seratus persen adalah dalam kasus sebagai berikut:
Sudah terjadi persetubuhan. Bila si wanita sudah sempat digauli maka tak ada alasan lagi bagi suami kecuali harus membayar mahar. Meskipun di kemudian hari si suami merasa tertipu sehingga ingin membatalkan perkawinan, maka dia tetap tidak bisa membatalkan mahar karena sudah menyetubuhi istrinya itu.
Suami atau istri meninggal dunia sebelum sempat terjadi hubungan suami-istri.
Madzhab Abu Hanifah menambah satu lagi yaitu bila pasangan suami istri ini sudah berduaan dan tak ada yang tahu lagi keadaan mereka, misalnya mereka sudah masuk kamar dari malam sampai pagi. Tapi madzhab lain tidak menganggap demikian. Wallahu a’lam.
Apabila mahar sudah disebutkan sejak akad atau sudah disepakati kedua belah pihak lalu terjadi perpisahan sebelum terjadi persetubuhan, maka si suami tetap wajib membayarkan mahar itu setengahnya. Itupun kalau perpisahan itu sebabnya adalah pihak suami. Misalnya, si suami tiba-tiba saja ingin menceraikan istrinya lantaran dia ingin pulang ke negerinya dan lain sebagainya. Ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat, 237,
”Dan jika kalian menceraikan mereka (istri-istri) sebelum menyentuhnya padahal kalian sudah menyebutkan jumlah mahar, maka hendaklah kalian membayarkan setengahnya.”
Sedangkan bila penyebab perpisahan adalah si istri sendiri maka mahar tidak wajib dibayarkan sama sekali. Misalnya, si suami mensyaratkan pada saat melamar bahwa istrinya ini masih perawan atau belum disetubuhi laki-laki lain, lalu kemudian sebelum mereka bersetubuh si istri menceritakan kejadian sebenarnya bahwa dia telah didahului oleh laki-laki lain, maka si suami berhak meminta fasakh karena telah ditipu dan tidak wajib membayar apa-apa. Atau ada cacat dari pihak istri misalnya ternyata istrinya ini gila dan lain sebagainya.
Bolehkah mahar berbentuk mushaf Al-Qur`an?
Tentu saja boleh, karena mushaf adalah harta dan lumayan mahal harganya. Bahkan, isinya adalah harta paling berharga bagi orang-orang yang beriman.
Bolehkah mahar berbentuk pembacaan ayat suci Al-Qur`an?
Kadang kita melihat ada pasangan menikah lalu si wanita menyebutkan salah satu maharnya adalah membaca surah-surah tertentu misalnya surah Ar-Rahman. Apakah ini termasuk mahar? Bila memang si wanita merasa ini adalah jasa dari suami yang dia perlukan maka tentu saja itu termasuk mahar. Tapi ada kemungkinan dia salah dalam menafsirkan hadits Sahl bin Sa’d di atas, sehingga dia menganggap bahwa mahar ayat Al-Qur`an adalah membacanya di depan penghulu.
Memang ada dua tafsiran dari hadits ini sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fath Al-Bari secara panjang lebar. Intinya, menurut pendapat yang paling terkenal dan didukung oleh versi lain dari hadits di atas bahwa maksud mahar Al-Qur`an itu adalah mengajarkannya. Sedangkan penafsiran lain adalah bahwa karena orang ini sudah hafal Al-Qur`an beberapa surah maka dia boleh menikahi wanita itu tanpa mahar. Insya Allah penafsiran kedua lebih tepat karena didukung oleh beberapa versi riwayat dan juga sesuai dengan makna mahar itu sendiri. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: